Kopi TIMES

Kritik Terhadap Ketatnya Validitas Penilaian

Sabtu, 07 September 2024 - 13:31
Kritik Terhadap Ketatnya Validitas Penilaian Antono Wahyudi, Dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa, Universitas Ma Chung, Malang

TIMES JATIM, MALANG – Hidup itu paradoks. Sesuatu yang kerap kali kita bayangkan hasilnya secara logis, justru menyingkap sesuatu yang kontradiktif meskipun masih logis. Salah satu dari jutaan fenomen paradoks adalah relasi guru dan murid. Logikanya, seorang murid akan mencapai keberhasilan yang pemikirannya sejalan dengan gurunya. Namun, paradoks kehidupan berkata lain. Kerap kali seorang murid justru memiliki pemikiran yang berbeda dengan gurunya.

Plato, filsuf yang sangat berpengaruh sampai hari ini, memiliki pemikiran yang kontradiktif dengan gurunya, Aristoteles. Demikian halnya dengan Aristoleles, salah satu peletak batu pertama science, memiliki perbedaan cara berpikir yang tajam dengan gurunya, Sokrates. Paradoksal relasi intelektual guru dan murid ini saya angkat untuk membuktikan kewajaran atas relasi intelektual saya terhadap guru saya, Prof. Dr. Patrisius Istiarto Djiwandono, biasa saya sapa sehari-hari dengan panggilan Prof. Patris di kampus. 

Dalam tulisan ini, saya hendak melakukan kontra argumentatif terhadap pemikiran Prof. Patris mengenai artikel opini yang ditulis di kolom nusadaily.com berjudul “Pentingnya Memberikan Tes di Dunia Pendidikan” terbit pada hari Jumat, 2 Agustus 2024. Bukan dalam kerangka epistemis (benar-salah) yang hendak saya kritisi, karena memang tidak ada yang salah dalam tulisan itu. Melainkan, dalam kerangka berpikir pragmatisme sekaligus rasionalisme. 

Di dalam artikel tersebut, Prof Patris mengangkat dua isu akademis. Pertama, adanya sebuah kesesatan di dalam berpikir dan bertindak atas “penyeberangan” penilaian. Intinya, seorang guru akan bertindak menyimpang dari kaidah-kaidah penilaian akademis ketika memberi hukuman pengurangan nilai akademis atas karakter buruk muridnya. Kedua, adanya washback effect di mana terjadi penyimpangan penilaian ketika guru hendak menguji critical thinking murid dengan memberi soal pilihan ganda yang justru dapat membatasi kedalaman dan kreativitas berpikir.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan argumentasi tersebut. Namun demikian, saya akan mengurai secara sederhana wilayah yang barangkali belum terjangkau oleh Prof. Patris. Dalam kerangka penilaian akademis, memang benar bahwa guru tidak semestinya menilai akademik muridnya dengan memaksa “menyeberang” ke wilayah non-akademik (karakter), karena eduanya memiliki sasaran yang berbeda. 

Jika kita lihat secara lebih kontekstual, di dalam dunia kerja pada umumnya, kendati kompetensi akademik yang dimiliki seorang murid terbilang tinggi, bila kompetensi non-akademiknya rendah, maka dunia kerja akan memandang sebelah mata terhadap kualitas akademiknya. Dengan kata lain, orang akan mengurangi “nilai” akademik karena karakternya yang lemah. Kata “nilai” saya beri tanda petik untuk menunjukkan bahwa nilai tidak selalu berkorelasi dengan kuantitas, tetapi juga dengan kualitas (fungsionalitasnya). 

Lantas, bagaimana seorang guru sejatinya bertindak ketika seorang murid datang terlambat mengikuti ujian akademik? Berdasarkan logika di atas, seorang guru tetap dapat mengurangi nilai akademik murid tersebut, tetapi diiringi atau jika tidak maka dilanjutkan dengan proses refleksi. Seorang guru perlu memberikan pemahaman terhadap muridnya, bahwa seberapa pun tinggi nilai yang diperoleh, jika kualitas karakternya rendah, maka kualitas akademik akan menjadi tidak bernilai. Ini menunjukkan adanya tingkat validitas yang koheren, tentu bukan dalam ranah akademik, melainkan di dalam dimensi yang berbeda.

Dunia kerja pada umumnya selalu melirik pertama-tama pada kualitas karakter seseorang. Mereka lebih memilih seseorang yang berkarakter unggul kendati nilai akademiknya biasa-biasa saja. Jika penilaian karakter dapat “diperbolehkan” menyeberang ke wilayah akademik, diiringi dengan pendekatan reflektif, maka kesadaran “kualitas karakter saya akan mempengaruhi kualitas akademik saya” tertanam secara bertahap di dalam diri. 

Kesadaran murid yang demikian menjadi tidak parsial. Di lain pihak, kesadaran yang parsial dalam konteks ini memaksudkan putusnya hubungan antara karakter dan keilmuan (akademik). Tidak ada koneksi yang signifikan antara karakter dengan keilmuan. Implikasinya, seseorang bisa menjadi sangat cerdas, tetapi dengan karakter yang buruk atau sebaliknya. Sebab, kesadarannya tidak dibangun secara terkoneksi antara karakter dan keilmuan (akademik).

Itulah sebabnya, pertanyaan mengapa tidak dilakukan pengukuran atau penilaian secara terpisah (parsial) antara akademik dan karakter saja, dalam hal ini menjadi tidak relevan. Lagipula, bila berbicara soal penilaian yang membutuhkan suatu objektivitas, pertanyaan kritis yang perlu dipikirkan lebih mendalam adalah apakah mungkin menilai karakter manusia secara objektif?  

Manusia itu adalah subjek yang kompleks, paradoks dan dinamis. Hasil pengukuran karakter individu hari ini bisa berbeda dengan hasil pengukuran individu yang sama di waktu yang berbeda. Selain itu, tidak seperti mengukur kemampuan otak dalam bidang matematika misalnya, mengukur karakter secara kuantitatif melibatkan berbagai macam faktor seperti mental psikologis, emosi, latar belakang kehidupan, hubungan keluarga, sosial, agama, politik dan seterusnya.

Apakah mungkin mengukur karakter manusia secara kualitatif? Sama halnya dengan persoalan yang dihadapi oleh metode kuantitatif. Mengukur berarti hendak mendapatkan hasil yang objektif. Objektivitas berarti terciptanya ketepatan yang sesuai dengan kenyataan tanpa menembuh batas ruang dan waktu. 

Kembali pada kodrat manusia yang tidak dapat lepas dari ruang dan waktu (kompleks, paradoks dan dinamis). Dengan kata lain, apakah bisa dikatakan pengukuran yang valid jika seorang pegawai bersikap bijak pada bawahannya tetapi tidak dengan keluarganya selepas pulang dari kantornya? Atau, seorang murid yang selalu tepat waktu di dalam mengumpulkan tugas-tugasnya tetapi tidak dengan menghadiri kelas-kelasnya? Ini hanyalah satu variabel dari ratusan bahkan ribuan variabel lainnya.  

Subjek adalah manusia. Objek adalah itu yang bukan manusia. Subjek menilai subjek. Konsekuensinya, subjek tidak dapat menilai subjek secara objektif tanpa menjadikan subjek sebagai objek (yang bukan manusia). Hal ini hanya mungkin dalam perspektif positivisme. Sejarah mengajari kita bahwa paradigma positivisme inilah yang jika tidak dikendalikan secara bijak cepat atau lambat akan berubah menjadi binatang buas yang siap menerkam pemiliknya.   

Kembali pada argumentasi Prof. Patris bahwa tidak semestinya seorang guru menilai akademik seorang murid berbasis penilaian karakternya. Sekali lagi, proposisi ini tidak salah, akan tetapi kurang menyentuh keseluruhan konteks esensi tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu terjun ke dunia kerja. 

Apakah semua metode “penyeberangan” penilaian dari non-akademik (karakter) ke wilayah akademik semacam ini harus dijadikan sebagai standar pendidikan? Tentu tidak juga. Tetapi mengapa tidak jika metode ini dilakukan? Ini bukan soal sahih atau tidaknya metode yang digunakan dalam satu wilayah taksonomi yang sama. Esensi pendidikan yang holistik berbicara soal sahih atau tidaknya metode penilaian di dalam mengukur kesiapan murid terjun ke dunia kerja.

Jika penilaian karakter dapat menyeberang ke wilayah akademik, maka apakah dengan demikian penilaian akademik dapat menyeberang ke wilayah karakter? Dalam konteks tujuan pendidikan yang holistik, cara ini menjadi tidak dianjurkan. Sebab, seperti yang telah disinggung sebelumnya dan tanpa bermaksud mengatakan akademik itu tidak penting, posisi karakter lebih diprioritaskan di mata dunia kerja ketimbang posisi akademik. Dengan demikian, penilaian karakter sebaiknya tidak menyeberang ke wilayah penilaian akademik.   

Persoalan kedua yang diangkat oleh Prof. Patris adalah yang berkaitan dengan washback effect. Kritik Prof. Patris adalah mengukur critical thinking tidak dapat dilakukan dengan cara memberi soal pilihan ganda. Memang benar jika metode pilihan ganda sebaiknya tidak dilakukan jika dibandingkan dengan metode pengukuran seperti presentasi, menulis esai, case method dan seterusnya. 

Sebenarnya masih ada ruang bagi critical thinking untuk aktif di dalam mengerjakan soal pilihan ganda. “Ruang” di sini tentu tidak seluas metode lainnya yang memang menyasar hasil atau proses critical thinking secara lebih holistik. Tetapi, masih ada ruang dan itu yang setidaknya dapat diandalkan. Misalnya, pertanyaan “bagaimana semestinya kedudukan Pancasila dan Agama itu perlu dipahami?” 

Terdapat tiga pilihan (a) Hubungan kita dengan Tuhan haruslah lebih rendah jika dibandingkan dengan hubungan kita dengan Pancasila. Sebab, Pancasila merupakan ideologi yang dijadikan sebagai prinsip Bangsa Indonesia; (b) Hubungan kita dengan Tuhan haruslah lebih tinggi dibandingkan hubungan kita dengan Pancasila. Sebab, Tuhan itu Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga Pancasila tidak dapat setara denganNya; (c) Hubungan kita dengan Tuhan dan hubungan kita dengan Pancasila harus seimbang. Tidak ada yang lebih tinggi satu dengan yang lainnya.

Pertanyaan pilihan ganda semacam ini memberikan ruang bagi murid untuk berupaya melakukan proses analisis. Jika Pancasila lebih tinggi dari Agama, maka Tuhan menjadi lebih rendah dari manusia. Jika Agama lebih tinggi dari Pancasila, maka untuk apa ada Pancasila? Jika keduanya sama kedudukannya, apakah Tuhan disejajarkan dengan Pancasila? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini diharapkan muncul, dipikirkan, dan direfleksikan oleh murid ketika hendak menjawab pertanyaan pilihan ganda tersebut. Critical thinking menjadi aktif di dalam melakukan analisis. 

Meskipun demikian, sekali lagi, tentu model soal pilihan ganda menjadi pilihan yang terakhir jika dibandingkan dengan model soal lainnya yang lebih memberikan ruang yang luas pada critical thinking untuk aktif. Tetapi itu bukan berarti pilihan ganda akan selalu terjebak pada washback effect. Dan, hal ini juga tergantung dari bagaimana seorang guru merancang jenis pertanyaan dan pilihan jawabannya. Inti yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa soal pilihan ganda masih dapat menjadi alat untuk mengukur kompetensi critical thinking tanpa terjebak pada washback effect. 

Demikian kritik saya terhadap dua persoalan yang dikemukakan oleh Prof. Patris. Dalam konteks-konteks tertentu, validitas penilaian hendaknya tidak diterapkan secara ketat. Alih-alih ingin membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah, kritik argumentatif yang hendak saya ajukan di sini semata bertujuan agar pembaca dapat melihat dari perspektif yang berbeda. 

Harapannya, tulisan ini juga dapat direspon tidak hanya oleh Prof. Patris, tetapi juga oleh para intelektual lainnya. Artinya, kesadaran saya telah membawa saya pada tahap di mana kritik dan pandangan pribadi tidak dapat bersifat absolut sebagaimana kodrat manusia yang kompleks, paradoks, dan dinamis. 

Hidup itu paradoks. Sudah menjadi hal yang lumrah seorang murid memiliki perbedaan pandangan dengan gurunya. Justru dengan paradoks seperti demikian, ilmu pengetahuan dapat berkembang. Dinamika proses tesis, anti tesis, dan sintesis dapat bergulir sehingga mampu menciptakan perkembangan ilmu pengetahuan. Prof. Patris sampai saat ini dan seterusnya masih dan akan selalu menjadi guru teladan. Kami berkarya bersama di dalam satu instansi dan program studi yang sama-sama kami cintai. 

***

*) Oleh : Antono Wahyudi, Dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa, Universitas Ma Chung, Malang. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.