Kopi TIMES

Memahami Islam sebagai Agama Kemajuan

Minggu, 25 Agustus 2024 - 13:31
Memahami Islam sebagai Agama Kemajuan Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur

TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Islam adalah agama kemajuan atau “dhinul hadharah”. Agama yang substansi, materi dan nilai-nilai ajarannya apabila dipahami dan diamalkan dengan sebaik-baiknya, akan menjadikan umat itu sebagai umat yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan umat yang lainnya.

Bukankah al-Qur’an sudah meletakkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip bagaimana agar umat Islam menjadi komunitas yang maju dan unggul diantara komunitas yang lainnya. Diantara ajaran itu adalah “fastabiqul khairat”. Ini sebagaimana firman Allah Swt. di dalam Surat Al-Baqarah ayat 148:

وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِ ۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Artinya: “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lomba lah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 148).

Kalau kita pahami ayat tersebut dan mengaitkannya dengan konteks munasabatul ayat, bahwa Surat Al-Baqarah ayat 148 ini disebutkan dalam rangkaian ayat-ayat yang berisi perintah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk berpindah kiblat. Dalam hal ini, berpindah dari berkiblat ke Masjid Aqsa menuju ke Masjid Haram.

Di dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw, sesungguhnya sejak wahyu al-Quran dan salat disyariatkan, beliau ingin sekali shalat menghadap ke Masjid Haram. Bahkan, dikatakan di dalam beberapa riwayat sampai beliau ketika shalat di Madinah agak serong menghadapnya, sehingga posisi kiblatnya bisa mengenai Masjid Haram dan juga di Masjid Aqsa.

Hingga akhirnya, ketika turun perintah kepada Nabi untuk berpindah kiblat, maka beliau langsung berpindah kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjid Haram. Beberapa riwayat menyebutkan ketika itu Nabi sedang melaksanakan shalat Ashar, dan di tengah-tengah shalat itu wahyu yang berisi perintah pindah kiblat itu diturunkan, seketika Nabi melakukannya.

Rupanya, tempat di mana Nabi shalat pada akhirnya dibangun masjid yang bernama Masjid Qiblatain yang terdapat dua mihrab; satu mihrab yang menghadap ke Masjid Aqsa, dan satu mihrab menghadap ke Masjid Haram.

Tentu saja, Nabi merasa tenang dengan perintah Allah itu karena memang Nabi sangat mengharapkan. Namun demikian, sebagian sahabat ragu-ragu dengan perintah pindah kiblat itu, sebab sudah sekian lama para sahabat menunaikan shalat menghadap ke Masjid Aqsa.

Bahkan, berpindahnya kiblat dari Masjid Aqsa ke Masjid Haram itu juga mendapatkan kritik dan cemohan serta caci-maki dari masyarakat dari kalangan ahli kitab dan komunitas Yahudi.

Jika dipahami lebih jauh secara konteks dan munasabatul ayat, kita akan menemukan di dalam ayat-ayat sebelumnya bahwa umat Islam itu disebutkan sebagai “ummatan washata” atau umat yang terbaik. Di dalam Surat Al-Baqarah ayat 143 disebutkan:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَکُوْنُوْا شُهَدَآءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَاۤ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِ ۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗ وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَا نَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya, melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]: 143).

Fastabiqul Khairat dan Islam sebagai Agama Kemajuan

Jika kita mengaitkannya konsep fastabiqul khairat dalam konteks Islam sebagai agama kemajuan atau “dhinul hadharah”, sekurang-kurangnya prinsip yang bisa dipahami dari Surat Al-Baqarah ayat 148 adalah ideologi atau keberagaman keyakinan.

Al-Qur’an menegaskan tentang adanya pluralitas ideologi atau keberagaman keyakinan. “Walikulli wijhatub huwa muwalliha”, bahwa tiap-tiap umat itu memiliki kiblat yang dia berkiblat ke tempat di mana dia diperintahkan untuk berkiblat. Tentu, ayat ini, selain menegaskan adanya pluralitas atau kemajemukan, juga menegaskan pentingnya umat Islam itu memiliki kemantapan identitas.

Karena itu, jangan pernah ragu untuk menunjukkan identitas dan jangan pernah bimbang untuk melaksanakan keyakinan. Biarlah umat yang lain shalat beribadah menghadap ke Masjid Aqsa, akan tetapi Anda umat Islam tunjukkan identitasmu di tengah pluralitas masyarakat dengan berkiblat ke Masjid Haram.

Tak berhenti di sini, di tengah keberagaman al-Qur’an memberikan tuntunan untuk senantiasa berbuat baik “fastabiqul khairat”. Fa’ di sini merupakan jawaban bahwa jika kamu hidup dalam masyarakat yang majemuk dan hidup dalam masyarakat yang pluralis, serta ingin menjadi unggul diantara yang lainnya, maka hendaknya kamu senantiasa berbuat baik.

Hampir semua terjemahan baik dari Kementerian Agama maupun terjemahan yang lainnya dalam bahasa Indonesia menerjemahkan kata fastabiqul khairat dengan “berlomba-lomba berbuat baik”.

Akan tetapi, jika kita memaknainya dalam spirit Islam sebagai dhinul hadarah dab mengaitkan dengan makna khair di dalam bahasa Arab, maka fastabiqul khairat bisa kita maknai dengan pengertian “berlomba-lombalah kamu sekalian untuk menjadi komunitas yang terbaik”. Khair mempunyai makna superlatif sebagaimana Surat Ali Imran ayat 110 “Kuntum Khairah Ummah” diterjemahkan dengan “Kamu sekalian adalah umat yang terbaik”.

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Artinya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS. Ali Imran [3]: 110).

Dengan demikian, menjadi komunitas atau umat yang terbaik, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, agar umat Islam menjadi komunitas yang terbaik, maka hendaknya senantiasa berbuat baik. Berbuat baik di dalam ajaran Islam dikaitkan dengan perbuatan amal shalih (dan amal shaleh merupakan aktualisasi dari keimanan).

Kedua, berbuat sesuai dengan tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah. Ketiga, amal shaleh adalah amal yang mengandung manfaat dan maslahat. Keempat, amal shaleh adalah amal yang ada dimensi peningkatan atau pembaruannya (dimensi ishlah-nya). Dengan beramal shaleh, maka umat Islam bisa menjadi komunitas yang terbaik.

Masih tentang amal shaleh. Amal shaleh yang dilaksanakan adalah amal shaleh yang banyak kuantitas, baik dari sisi jumlahnya maupun dari sisi frekuensinya. Kata  as-shalihat adalah jamak taksir yang mengandung pengertian bahwa perbuatan baik itu jumlahnya sangat banyak, dan karena perbuatan baik itu jumlahnya sangat banyak, maka hendaknya umat Islam senantiasa juga berbuat baik.

Perbanyaklah berbuat baik. Sebab, dengan banyak berbuat baik, kita akan mempunyai keunggulan. Paling tidak, kita akan memiliki keunggulan secara kuantitas. Akan tetapi, dalam dunia yang maju, keunggulan kuantitas belum tentu memiliki kaitan dengan menjadi umat yang terbaik kalau tidak disertai dengan berbuat baik yang dilandasi oleh prinsip ihsan.

Itu sebabnya, jika yang kedua berkaitan dengan “aksaru amala”, maka sudah pasti yang ketiga berkaitan dengan “ahsanu amala”. Artinya, amalnya banyak tetapi tidak berkualitas. Orang bekerja tetapi hanya formalitas, maka tidak akan menjadikan seseorang atau komunitas memiliki keunggulan di antara komunitas yang lainnya.

Karenanya, prinsip untuk kita menjadi yang terbaik adalah berbuat ihsan. Kata ihsan tidak sekedar kita maknai dalam pengertian teologis saja yaitu “kamu menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, dan kalau kamu tidak melihatnya maka Allah melihat kamu”, tidak saja demikian.

Akan tetapi, ihsan bisa kita maknai sebagai “excellent” atau “kesungguhan” di dalam kita melaksanakan pekerjaan. Perfection. Kita berusaha untuk melaksanakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, bukan sekedar melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan.

Menjadi Unggul

Untuk kita menjadi unggul, maka kata kuncinya ada pada lafadz “istabaqa”, yang artinya “berlomba untuk menjadi yang terdepan”. Kata sabaqa berarti “mendahului”, sementara istabaqa bermakna “lebih maju” dari sekedar mendahului. Sehingga dalam prinsip fastabiqul khairat dan Islam sebagai dhinul hadarah, maka yang harus diletakkan adalah prinsip kepeloporan.

Ia senantiasa menjadi orang-orang yang sabiqun lil khairat, yaitu senantiasa terdahulu di dalam berbuat baik. Atau dalam bahasa al-Qur’an yang lain “Yusariuna fi al-Khairat”, yaitu “bersegera dalam berbuat baik”. Sebab, banyak komunitas yang maju terdiri dari mereka yang menjadi pembaharu, pelopor dan inovator untuk menginisiasi hal-hal yang baik dan menyempurnakan apa yang telah mereka lakukan.

Perintah fastabiqul khairat, selain di dalam Surat Al-Baqarah ayat 148, juga disebutkan di dalam Surat Al-Maidah ayat 48. Allah Swt. berfirman:

وَاَنْزَلْنَاۤ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَـقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ الْحَـقِّ ۗ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗ وَلَوْ شَآءَ اللّٰهُ لَجَـعَلَـكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰـكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَاۤ اٰتٰٮكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَـيْـرٰتِ ۗ اِلَى اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ 

Artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 48).

Tuhan memberikan perintah untuk berbuat baik di tengah pluralitas, komunitas agama dan pluralitas keberagaman di dalam masyarakat. Bahwa, pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang harus kita jawab dengan berbuat kebaikan.

Lalu bagaimana jika ayat “Ainama Takunu Yakti Bikumullahu Jami’ah” kita maknai dengan pendekatan tasawuf, maka kemanapun kamu pergi, maka kamu tidak bisa menghindari dari kematian. Dengan kata lain, kemanapun kamu pergi, maka kematian itu akan menjumpai kamu, sehingga tidak ada tempat di bumi ini yang bisa menyelamatkan kamu.

Namun, dalam pendekatan yang bersifat ikhtiari (berusaha menjadi yang terbaik), maka mengandung pengertian bahwa, dimanapun kamu berada kamu, maka harus senantiasa berbuat baik, apakah dilihat manusia atau tidak maka kamu harus senantiasa berbuat baik, karena Allah melihat apapun yang kamu lakukan.

Prinsip inilah yang menjadi sumber motivasi intrinsik untuk orang itu menjadi baik. Kenapa demikian? Karena di dalamnya melekat semangat untuk menjadi baik. Tentu saja, menjadi shaleh dan baik bukan hanya di komunitas di mana kita berada, akan tetapi ketika kita berada di tempat yang mungkin tidak ada orang yang kita kenal, maka kita harus berbuat baik.

Di dalam Ilmu Sosiologi dikenal istilah “kesalehan komunal”. Yaitu, di mana orang itu menjadi baik karena ia berkumpul dengan komunitas masyarakat yang baik, tetapi begitu ia keluar dari masyarakatnya, kebaikan itu ia tinggalkan. Akhirnya yang terjadi ia berbuat baik bersifat temporal dan bersifat lokal.

Ikhtiar kita itu ada keterbatasan. Belum tentu juga usaha yang kita lakukan mesti berhasil. Akan tetapi, yang dinilai dalam perbuatan kita bukan dari hasil yang kita capai, melainkan dari niat dan usaha baik yang kita lakukan. 

***

*) Oleh : Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.